murniramli

Merger Sekolah di Nagano

In Manajemen Sekolah, Pendidikan Jepang on Februari 1, 2007 at 1:52 pm

Hari ini saya masih berada di Nagano dalam rangka kunjungan sekolah selama tiga hari. Hari ini kami mengunjungi SD dan SMP Azumi yang terletak di Matsumoto. Kedua sekolah ini bersebelahan dengan total murid SD dan SMP sebanyak hanya 84 orang siswa yang diasuh oleh 22 orang guru. Terjadi ketidakseimbangan antara jumlah guru dan siswa.

Sekolah yang terletak di tengah pegunungan bersalju di Nagano ini tidak bisa dikatakan sekolah kecil walaupun jumlah muridnya sangat minim. Ini disebabkan karena bangunan sekolah yang sangat megah menurut ukuran saya, fasilitas yang sangat lengkap, lapangan olah raga indoor dan outdoor, TV yang tersedia di setiap kelas. Fasilitas standar sekolah-sekolah seperti ini.

Kedatangan kami di tengah salju yang turun hampir di seantero Jepang hari ini disambut oleh seorang laki2 berkacamata yang berlari-lari menyambut kami di tangga pertama menuju ke pintu masuk sekolah. Saya pikir dia seorang guru di sekolah tersebut, ternyata beliau adalah Kepala Sekolah SD Azumi. Beliau mengantar kami berkeliling dan melihat-lihat kelas. Kelas 1 SD yang kami tengok hari ini terdiri dari kurang dari 10 orang siswa, duduk melingkar di lantai mengelilingi Bapak Guru yang selalu tertawa. Anak-anak tidak terlalu peduli dengan kedatangan kami, mereka tetap serius belajar. Pelajaran hari itu adalah bahasa Jepang dan topiknya tentang `musim`. Kelas-kelas lain yang kami kunjungi hampir sama semuanya.

Beberapa hal yang saya temukan berbeda dengan sekolah kita di Indonesia :

1. Anak-anak SD Azumi berpakaian bebas, sedangkan siswa SMP berpakaian seragam.

2 . Anak-anak memakai sepatu khusus di dalam kelas.

3. Pintu masuk sekolah di Jepang selalu dilengkapi dengan loker tempat menaruh sepatu yang tidak boleh dipakai di dalam sekolah. Sebagai gantinya kita harus memakai slipper.

4. Acara makan siang dikelola oleh siswa, makanan disiapkan oleh koki di dapur sekolah. Anak-anak secara bergiliran bertugas melayani teman-temannya.

5. Di setiap sekolah terdapat wastafel panjang untuk mencuci tangan dan sikat gigi

6. Tas diletakkan dalam kotak-kotak loker yang ada di dalam kelas

7. Buku-buku ensiklopedi, berbagai karya siswa dipajang di dalam kelas

8. Tidak ada tukang sapu, cleanig service, dll. Semua dikerjakan oleh anak-anak dan guru

9. Sekolah selalu bersih

10. Guru berpakaian sangat santai, kadang baju kaos biasa, sepatu ket, hanya kepala sekolah yang berjas dan berdasi (inipun hanya jika ada tamu barangkali)

11. Tidak ada koperasi atau kantin sekolah.

12. Sekitar 10 menit sebelum jam pertama dimulai ada program membaca. Baca buku apa saja boleh.

13. Tidak ada guru yang terlambat, demikian pula murid.

Apa lagi ya ?

Ada beberapa sekolah di Jepang yang menerapkan sistem sama dengan Azumi, menyatukan SD dan SMP di dalam satu lokasi, sehingga aktivitas sekolah pun kadang dilakukan bersama. Bahkan adapula kegiatan kolaborasi antara siswa SD sekota Matsumoto. Beberapa kegiatan mendaki gunung/ kemping dilakukan dalam bentuk kerjasama (Oonawa, Azumi dan Nagawa EHS).

Karena jumlah anak usia sekolah semakin menurun di seluruh Jepang, maka ada kemungkinan sekolah-sekiah tsb dimerger. Namun ini akan membawa masalah sosial baru misalnya guru tidak efektif bekerja, masalah jarak antara rumah dan sekolah, dan lain-lain.

Merger sekolah menjadi dilema bagi pemerintah Jepang saat ini, terutama di daerah seperti Nagano yang minim penduduk (daerah pegunungan). Masalah utama tentu saja membangun fasilitas baru sekolah, juga mengatur penempatan guru. Dan kemungkinan akan muncul masalah psikologis, seperti adaptasi anak dengan teman dan guru barunya. Namun jika merger tidak dilakukan, maka permerintah harus mengeluarkan dana cukup besar untuk mengelola kegiatan operasional dan pemeliharaan sekolah.

  1. wahhhhh mak murni, banyak sekali ya menurut evi yang positif dari sistem pendidikan di Jepang, kayaknya kita perlu banyak belajar seperti itu deh, dengan sistem belajar begitu evi yakin pendidikan kita akan ada kemajuan, yang evi sangat – sangat salut adalah walopun sekolah di daerah terpencil, jumlah guru dan fasilitas sekolah tetap tidak luput dari perhatian pemerintah jepang, hebat banget ya? coba di Indonesia semakin terpencil tempatnya, semakin tidak bisa ditemukan adanya sekolah, klopun ada fasilitasnya akan sangat minim sekaleeee, tapi untuk Indonesia-ku mudah – mudahan bisa belajar dan terus memperbaiki sistem pendidikan masyarakatnya, kita kan ga boleh pesimis, sapa tau ntar klo mbak pulang banyak kasih kemajuan buat pendidikan kita, aminnnn 🙂

  2. Ada beberapa hal yang menarik dari apa yg sampean tulis dan juga pertanyaan:
    1. Kebiasaan kerja sama antara siswa dan guru.
    2. Pembebasan seragam sekolah
    3. Keluluasaan dalam hal memilih
    4. Belajar menjadi orang dewasa dengan tanggung jawab.
    5. Semoga sepulang dari Jepang membawa jodoh orang jepang
    6. Bagaimana sistem penggajian/kesejahteraan guru disana?
    7. 🙂

  3. Pak Urip,
    yg nomor 5 itu ga masuk pada kategori `menarik` atau `pertanyaan` (^_~)

  4. Hajimemasite, saya seorang peserta magang di Jepang, sudah satu setengah tahun lebih, tinggal di Nagano ken Azumino shi. Mungkin benar bahwa Jepang ke depannya akan kekurangan penduduk. Bila saya berada di ruang publik seperti jalan, taman, supermarket, yang terlihat dimana-mana adalah orang-orang usia rata-rata 40 tahun keatas. Hanya sesekali terlihat 2-4 orang anak berseragam sekolah berjalan atau naik sepeda bersama, atau 1-2 orang anak muda dengan pakaian anehnya, rambut semrawut, berjalan seperti orang sakaw ( dan mereka bilang kore wa stairu dayoo.. (^-^) ). Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Di luar rumah yang terlihat adalah generasi muda di mana-mana. Hanya sedikit terlihat orang tua berjalan pelan di pinggir jalan. Di perusahaan tempat saya magang, dari sekitar 25 karyawannya, hanya ada 2 orang yang masih tergolong muda. Lainnya adalah obaasan dan ojiisan. Itu pun sebagian dari obaasan dan ojiisan itu masih singgle, belum nikah, dan bahkan mungkin tidak akan menikah. Saya pernah ngobrol sama teman orang Jepang, dia bilang punya anak itu merepotkan, makan biaya, kalau besar menyusahkan orang tua, dll. Subhanallaah, mungkin ini hanya pendapat dari teman saya itu saja. Tapi melihat sifat-sifat orang Jepang yang hampir sama dan seragam di semua bidanga, bisa jadi ini juga pandangan orang Jepang secara umum. Mungkin memang benar bahwa Jepang adalah negara makmur, sistem pendidikannya bagus dan mungkin salah satu terbaik di muka bumi ini, tetapi menurut saya ada satu hal yang tidak dimiliki bangsa Jepang, yaitu usaha mereka mencari “surga” di dunia, hanya berakhir dengan batin yang tertekan selama hidupnya.

  5. Pak Arif,
    Memang berdasarkan survey, kebanyakan orang jepang enggan berkeluarga dg alasan tsb. Saya pikir bukan hanya masyarakat Jepang, tetapi berbagai masyarakat dunia lainnya juga sama. Sangat menarik dan perlu untuk mempelajari struktur dan sifat suatu masyarakat, mengapa terjadi paradigm shift sedemikian rupa.
    Mencari surga, masuk surga adalah dambaan semua orang, tdk peduli dia org Islam atau bukan. Hanya jalan menuju ke sana dan definisi surga itu yg berbeda2. Sebg muslim, kita meyakini bahwa semua org yg mengucapkan Laa ilaaha illallah, dijamin telah mendapatkan surga, tp mereka (org jepang) tentunya punya definisi lain siapa yang dijamin masuk surga.
    Saya tdk bisa men-judge bahwa banyak org Jepang yg mencari surga dunia kemudian hidup tertekan, sebab banyak pula org Islam/kristen/Indonesia yg demikian. Sifat demikian adalah general dan tidak menjadi karakter suatu kaum.
    Wallahu `a`lam bisshawab

Tinggalkan Balasan ke evi cahya puspita Batalkan balasan