murniramli

No money no good education

In Administrasi Pendidikan, Manajemen Sekolah, Pendidikan Indonesia, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan, SMA di Jepang on Agustus 15, 2010 at 3:40 pm

Beberapa waktu lalu ada seorang dosen Jepang yang dikirim untuk mengajar bahasa Jepang di dua SBI di Semarang. Sepulangnya dari Indonesia sang dosen menuliskan laporan dan kesan lengkapnya, dan tulisan itu diedarkan kepada empat orang dosen di kampus kami, dan saya diperkenankan membacanya dan diminta memberikan komentar terhadap laporan itu.

Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan dosen tersebut dan kami mengobrol panjang lebar tentang apa yang dilihat dan kesannya terhadap Indonesia. Meluncurlah kalimat panjang dan salah satu yang membuat saya agak terkejut adalah perkataan yang didengarnya dari guru-guru SBI yang ditemuinya. Guru tersebut mengatakan bahwa no money no good education. Ceritanya Pak M, nama dosen tsb awalnya bertanya tentang SPP sekolah, dan menanyakan juga bagaimana dengan sekolah biasa di kampung, lalu disebutkanlah angka yang membuatnya semakin penasaran, mengapa sampai berbeda sekali ? Lalu dijawablah oleh sang guru, bahwa pendidikan tidak akan bagus jika tidak ada uang. Fasilitas lengkap yang dimiliki SBI tsb adalah karena sumbangan (tarikan ?) dana dari orang tua. Kalau tidak ada itu mereka tidak bisa mengupayakan apapun.

Pandangan seperti itu tidak saja ada di Indonesia, kata Pak M. Di Jepang pun di beberapa sekolah elit negeri, dana sumbangan orang tua menjadi penentu adanya fasilitas sampingan di luar fasilitas standar sekolah. Misalnya saja sebuah SMA negeri elit di Aichi mempunyai rumah musim panas khusus yang dipakai oleh siswa-siswa untuk mengadakan kegiatan belajar di luar sekolah menjelang ujian akhir.

Sekolah-sekolah negeri biasa yang ada di desa atau kampung hanya mengandalkan fasilitas standar yang disiapkan oleh pemerintah. Karena sumbangan orang tua juga sedikit maka tidak ada fasilitas lebih yang bisa mereka bangun.

Tetapi saya pernah mengunjungi beberapa sekolah yang mempunyai fasilitas elit bukan karena sumbangan dana dari orang tua, tetapi karena sumbangan pemerintah kota. Jadi, pendidikan yang baik sebenarnya tidak saja karena orang tua yang menyekolahkan anak di sekolah bersangkutan adalah orang tua yang berkantong tebal, tetapi juga karena dukungan dan keterlibatan pemerintah daerah.

Beberapa sekolah di kampung di Jepang juga menerima sumbangan dari orang tua, tetapi bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk moril dan materil berupa dukungan pembelajaran, misalnya kesempatan untuk memperkerjakan siswa pada saat liburan musim panas di restoran yang dimiliki salah satu orang tua, atau di pabrik dan peternakan.

Saya sebenarnya tidak terlalu mendukung ungkapan no money no good education. Sebab kadang-kadang banyak uang tetapi mutu pendidikan tidak juga menjadi bagus. Dan karena ada juga sekolah yang tidak punya uang besar tetapi mampu melaksanakan pendidikan yang bermutu. Penentu tersedianya good education bukan melulu pada dana yang tersedia, tetapi setelah semua kelayakan pembiayaan dipenuhi, maka penyediaan pendidikan bermutu tergantung pada pengelolaan dan pemanfaatan uang tersebut.

Sebenarnya sulit juga mendefinisikan apa itu pendidikan yang baik. Sama halnya kita tidak punya kesepakatan tentang sekolah bermutu. Apakah apabila semua siswa lulus ujian, maka sekolah dikatakan bermutu bagus. Ataukah jika semua siswa pergi ke PTN, ataukah pelajaran diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris?

Secara sederhana menurut saya, pendidikan yang baik dan bermutu adalah pendidikan yang  dapat membuat murid yang kurang berminat belajar menjadi berminat, dari siswa yang berpemahaman rendah (dilihat dari nilai ujian) menjadi siswa yang mengerti, dari siswa yang berperilaku buruk menjadi siswa yang berperilaku santun, atau lebih gampangnya dari siswa yang tidak punya cita-cita dan keinginan menjadi siswa yang bertanggung jawab dan tahu apa yang hendak dicapainya.

Jadi, pendidikan yang baik tergantung pada ketersediaan guru yang cerdas yang mampu memberikan pembelajaran yang membawa pada pemahaman. Jika sekolah dapat menjalankan fungsi dasarnya seperti di atas, maka itulah sekolah yang telah menyediakan good education.

Lalu bukankah guru yang cerdas lahir dari ketersediaan uang ? Tidak juga. Ketersediaan uang memang dapat mendorong semangat menjadi guru yang berkembang, tetapi banyak kasus uang tidak bisa meningkatkan profesionalisme guru. Jika kebutuhan guru untuk hidup layak telah terpenuhi, maka kelebihan uang yang diperolehnya belum tentu digunakannya untuk meningkatkan kemampuan diri, tetapi boleh jadi dipakainya untuk kesenangan perorangan.

Jadi, karena uang adalah sesuatu yang membuat manusia kelimpungan, maka banyak uang tidak selalu linier dengan good education.

  1. Aku pintar bahasa Jepang……….. Aq mau menjadi seorang MISS

  2. Pendidikan yang baik menurut saya adalah yang menyadarkan manusia akan kedudukannya di hadapan pencipta dan mampu memaksimalkan potensi kemanusiaannya untuk berperan maksimal dalam kehidupan bagi dirinya dan bagi orang lain. Maka, pendidikan yang baik harus berhasil membangun 2 “kompetensi” fundamental yaitu “kompetensi keakhiratan” dan kompetensi keduniaan secara terpadu. Ketertinggalan kaum muslimin saat ini di bidang iptek dan politik di satu sisi dan kehampaan spiritual di negara-negara maju menurut saya adalah bukti yang gamblang akan hal ini.

  3. OK, saya paham sekarang…
    Terima kasih atas tulisannya…

  4. dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa pendidikan yang baik tergantung kecerdasan dan kekreatifan guru dalam mengelola pembelajaran. tapi muncul satu pertanyaan, bagaimanakah menghasilkan guru-guru yang memiliki kreatifitas dan kecerdasan tersebut?? apa hal konkrit yang mungkin bisa kita lakukan untuk memperbaiki mutu SDM Guru di Indonesia sehingga bisa menghadirkan pembelajaran yang benar-benar berkualitas???

  5. Beberapa waktu lalu, senior saya yg seorang guru fresh graduate sebuah sekolah pendidikan guru, bercerita pengalamannya pertama kali mengajar. Anak2 yg dia ajar kebanyakan anak buruh tani. Hampir semuanya hopeless. Perilakunya pun tidak bisa dikatakan baik. Membuka situs porno sudah jadi bagian aktivitas mereka. Pendidikan dianggap sebagai sesuatu yg tidak penting. Mereka berpikiran kenapa harus belajar ini dan itu jika ujung2nya mereka akan seperti orang tua mereka?
    Berkali-kali senior saya itu menasihati mereka. Tapi mereka tetap dengan pola pikir yg seperti itu. Jadi menurut saya, semuanya berawal dari pola pikir individu masing2. Orang tua sebenarnya memegang peranan penting. Guru pun demikian. Pemerintah daerah hingga pusat pun demikian. Semua memegang peranan penting dalam memajukan pendidikan.
    Di kota-kota besar, bisa dikatakan pola pikir masyarakatnya baik. Lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah di pelosok? Mereka lah yg sebenarnya butuh perhatian ekstra. Bagaimana bisa menghadirkan sebuah pendidikan yg baik, dg sistem dan strategi pendidikan yg cocok untuk mereka?

Tinggalkan komentar