murniramli

Belajar dari New Zealand tentang Higher Education

In Manajemen Sekolah, Pendidikan Indonesia on Juli 21, 2007 at 11:31 am

Kamis malam yang lalu, sebagai kelas terakhir dalam course comparative education, di semester ganjil ini, saya kebagian mempresentasikan paper tentang  kebijakan pendidikan tinggi di Australia dan New Zealand.  Bahan diambilkan dari buku Ajia Oseania no  koutou kyouiku, karangan Toru Umakoshi.  Selama hampir 3 hari saya berkutat merangkum paper itu di sela-sela kegembiraan menikmati kue ultah dan ajakan makan 😀

Secara ringkas, pengembangan PT di Australia lebih mengarah kepada marketisasi, menawarkan kerjasama dengan beberapa universitas di Malaysia, China dan Singapura untuk membuka kelas/program bahkan kampus di negara bersangkutan.  Negara yang berpenduduk sekitar 21 juta ini memiliki kurang lebih 44 PTN dan PTS, yang kelihatannya kekurangan murid, sehingga mengadakan program promosi besar2an membidik pelajar Asia untuk berguru di PT Australia.  Program pentolannya yang lain adalah TAFE (Technical and Further Education) yang menawarkan beragam program keahlian dan keterampilan semacam politeknik.

Saya sangat tertarik dengan paper kedua yang menyajikan pengelolaan PT di New Zealand.  New Zealand yang dalam bahasa Maori dinamakan `Aotearoa`, yang artinya negeri yang dilingkupi awan putih yang panjang, berpenduduk hanya sekitar 4 juta orang, sangat unik karena mengagetkan dunia dengan sistem marketisasi pendidikan tingginya di tahun 1980-an. Seperti halnya dengan Australia, PT di NZ juga berlomba menawarkan program unggulan kepada mahasiswa Asia, dan membuka program-program off-shore.  Jika di Australia banyak dibuka TAFE, maka di New Zealand banyak sekali politeknik, tapi mahasiswa secara total, sedikit.  Jenis pendidikan tinggi di New Zealand ada 5 yaitu : Universitas, Politeknik, College/Akademi, PTS, dan Wananga.  Yg terakhir ini adalah Instititusi khusus untuk memperdalam budaya Maori.  Tahun 2002 tercatat masing-masing, 8, 20, 4, 506 dan hanya 3 Wananga.

Pada era marketisasi, institusi pendidikan tinggi dianggap sebagai `a marketable commodity`, sehingga yang kelihatan dengan jelas adalah persaingan antar PT untuk memperebutkan mahasiswa sebanyak-banyaknya.  Tawaran beasiswa pun melimpah, subsidi kepada mahasiswa juga demikian menggiurkan.  Efek negatifnya, menurunnya daya kompetisi antar mahasiswa, demikian pula mutu pendidikan dan lulusannya.  Yang lebih parah, banyak dosen yang dilaporkan bekerja overload untuk menjalankan fungsi pengajaran dan pengelolaan kampus, yang berimbas kepada tingkat stress yang meninggi.

PM yang sekarang, Ibu Helen Clark yang mulai menjabat sejak tahun 1999, adalah seorang yang cukup berani mengadakan perubahan kebijakan PT di NZ.  Keputusannya untuk menghentikan model kompetisi antar PT dan mengembangkan pola collaboration (協同)dan cooperative(協力) membawa angin segar kepada dunia PT yang terlalu tegang dengan persaingan.

Dalam rencana strategis kebijakan pendidikan tinggi tahun 2002-2007, ada 6 poin yang ingin dicapai :

1. Peningkatan kemampuan dan mutu PT

2. Perhatian kepada pengembangan suku Maori

3. Peningkatan partisipasi semua warga dalam pengembangan masyarakat berbasis pengetahuan melalui upaya pemerataan kemampuan dasar.

4.Pengembangan kemampuan dasar orang New Zealand dalam rangka membentuk masyarakat berbasis pengetahuan

5. Menyelenggarakan pendidikan untuk pengembangan wilayah kepulauan di Pasifik

6. Penekanan kepada pengembangan masyarakat berbasis pengetahuan melalui penelitian, peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap IPTEK.

Pemerintah juga menyediakan dana yang disalurkan menjadi 4 kelompok, yaitu subsidi pendidikan (beasiswa mahasiswa), subsidi penelitian, subsidi untuk pengembangan strategis negara.

Yang menarik bagi saya adalah kebijakan untuk mengangkat suku Maori, pengembangan pendidikan di wilayah Pasifik.  Selama puluhan tahun pendidikan di Australia dan New Zealand cenderung untuk melayani mahasiswa asing dari Asia, dan sedikit sekali akses dari generasi muda di kepulauan Pasifik.  Salah satu penyebabnya karena masalah ekonomi.  Banyak siswa yang tidak bisa kuliah di NZ atau Australia sebab PT di kedua negara pun berlomba memasang tarif.  Sekalipun ada beasiswa, mahasiswa Asia lebih sukses meraihnya.

Setelah saya search di situsnya PM Clark, saya prediksi kebijakan tentang suku Maori sangat erat kaitannya dengan latar belakang beliau sebagai Menteri Seni, Budaya dan Heritage.  Di tengah persaingan antar bangsa yang demikian ketat, sangat sedikit pemimpin negara yang peka terhadap pelestarian budaya.

Bagi saya pribadi, mempresentasikan kebijakan PT di New Zealand merupakan pelajaran berharga, mengingat saat ini PT di Indonesia sedang giat2nya menggenjot persaingan melalui perubahan status PT menjadi BHMN.  Barangkali kita dapat belajar kepada New Zealand, supaya tidak terjebak dalam marketisasi, tetapi justru bergerak untuk mengembangkan kerjasama antar PT dengan tujuan yang sama : membangun bangsa !

  1. Terimakasih sudah ngebahas New Zeland and (sedikit) tentang Australia. Saya jadi punya wawasan lain…

    murni : sayang sekali course kami kali ini hanya membahas kebijakan pengelolaan PT di Asia dan Oceania, belum sempat jalan-jalan ke Eropa.
    Ada cerita menarik ttg PT di Holland ?

  2. Kia Ora – salam ala Maori. Saya melihat pendidikan untuk orang asli di negara kulit putih seperti New Zealand-dengan Maorinya, Australia-Aboriginnya dan Amerika-Indiannya; di New Zealand penduduk asli lebih diperhatikan. Tidak hanya dalam pendidikan tapi juga dalam bidang politik, sosial dan lainnya.

    murni : waduh….Pak Rony sebenarnya orang yang paling tepat membahas ttg New Zealand, sebab pernah tinggal di sana 😀
    Ya, menarik sekali NZ dg kebijakan penduduk aslinya.

  3. kali NZ melirik cermin sejarah pemerintah Netherland dengan negeri jajahannya nun jauh di seberang lautan hindia Netherlands Indie usai memeras dengan kultur stelsel/tanam paksa/perkebunan-2/bikin afdeling [karena kas negara kosong terkuras perang di bantaran Europe, lunasinya pake kesuburan tanah negeri jajahan & komoditi laku keras & mahal disana ] & setelah kaya, mereka tersentuh juga melihat kebodohan & pembodohan akibat perbuatannya, di… era tahun 1920-an dengan etische politie/politik balas budi, memintarkan pemilik tanah asli yang juga melahirkan singa-2 panggung dan memakan tuannya sendiri. [kt. meneer] ; [kt. mardijkers] kami minta kembali kekayaan negeri milik kami yang direnggut oleh toean dari orang tua kami.. dengan darah & nyawa kami.

    Itulah manfaat & essensi pendidikan, ternyata mampu memerdekakan negeri ini dari penjajahan,
    yang selalu gagal dilawan hanya dengan otot & kesaktian & darah, namun tumbang oleh akal.

    kalau “diakali” ya mestinya “diakalin” kembali, bukan “diokoli” spt. dilakukan para pendahulu jadi pahlawan heroik tsb. karena lawan memang gak punya ilmu kekebalan [timur] ; ilmu kenjataan mrk
    poenya [barat]

    Memang Belanda kelewatan, beda sama kaum Anglo Saxon… maka diantara penjajah & dijajah
    terjadi hubungan “lebih bersahabat” skadar meluaskan jaringan pasar domestiknya [era industrialisasi, mesin uap] & menaikkan taraf kepandaian penduduk asli agar “tetap setia karena utang budi” hehehe…. dan nilainya lebih besar ; dibanding belanda yang kuras habis-2an tanpa sisa,
    yang ada hanyalah dendam tak berbalas ..mana ada
    kaum muda yang fasih berbahasa belanda, selain mereka hidup di zaman era kolonial?

    NZ. telah bertindak cerdas, tanpa harus mengalami
    sendiri. berani ambil langkah benar [itulah guna mempelajari sejarah=kisah tertulis di panggung kehidupan luas, jika sempit = kisah/pengalaman pribadi]

    walah cerita pendidikan khoq jadi ngelanturnya..
    ke sejarah … negeri sendiri ya??

  4. […] Tulisan dimuat setahun yang lalu di: Belajar dari New Zealand tentang Higher Education […]

Tinggalkan komentar