murniramli

Melamar Dosen di Jepang

In Administrasi Pendidikan, Pendidikan Tinggi, Serba-Serbi Jepang on Maret 12, 2012 at 11:23 pm

Judul di atas sudah benar, bukan “Melamar Menjadi Dosen”, tetapi “Melamar Dosen”. Untuk kasus pertama, melamar menjadi dosen, saya kira sama dengan Indonesia, yaitu universitas-universitas yang memerlukan dosen-dosen baru, akan mengumumkan lowongan dosen, dan sekaligus secara detil mengutarakan persyaratannya. Umumnya ada dua post yang biasa ditawarkan, yaitu dosen tetap dan dosen non tetap (kontrak).

Persyaratan yang agak berbeda adalah, kalau di Indonesia diwajibkan menyampaikan ijazah dan transkrip S1, S2, dan S3, maka di Jepang yang wajib diserahkan adalah ijazah terakhir saja (umumnya lamaran dosen hanya untuk S3 saja), transkrip, dan laporan penelitian, jurnal, buku yang sudah diterbitkan, CV, makalah/paper ringkas (dengan jumlah kata yang sudah ditentukan) tentang pandangan dan pemikiran calon dosen terhadap pengembangan ilmu, penelitian dan kelembagaan, atau major yang akan ditanganinya kelak. Penilaian terbesar akan ditekankan pada penelitian/karya yang sudah dibuat, dan makalah pendek.

Yang akan saya paparkan berikut ini adalah hal yang barangkali tidak ada di tanah air, yaitu “melamar seseorang untuk menjadi dosen tetap”. Kalau tidak karena kebaikan professor, maka cerita seperti ini tentu tidak akan saya ketahui.

Di Jepang, seperti halnya di Indonesia, universitas-universitas negeri telah dikelompokkan baik secara nasional maupun internasional berdasarkan prestasinya dalam bentuk league table atau perankingan. Di kelas enam besar teratas adalah Tokyo Univ, Kyoto Univ, Tokyo Institute of Technology, Osaka Univ, Tohoku Univ, dan Nagoya Univ.  Posisi sebagai universitas ternama memungkinkan universitas tersebut untuk melamar dosen.

Ada beberapa dosen di universitas ternama yang dulunya adalah dosen berprestasi unggul di universitas lain. Menurut pandangan seorang professor, universitas top memiliki “kuasa” atau lebih tepatnya “kesombongan” untuk memilih dosen-dosen terbaik. Prosesnya diawali dengan apabila universitas top ingin merekrut seorang dosen dari universitas di bawahnya, maka pihak univ top akan melayangkan surat “lamaran” atau tawaran kepada dosen bersangkutan. Jika dosen yang dilamar setuju, maka proses selanjutnya adalah hal yang “sangat Jepang”.

Struktur organisasi dalam sebuah fakultas di universitas di Jepang terdiri dari dekan atau gakubuchou (学部長) dan direktur pasca sarjana atau kenkyuukachou (研究科長), lalu di bawahnya terdapat prodi yang diketuai oleh seorang professor. Satu prodi atau lebih mirip dengan istilah laboratorium (研究室)hanya memiliki 2 atau 3 dosen, yang terdiri dari professor, associate professor, dan asisten. Jadi, struktur seperti ini sangat berbeda dengan model jurusan/prodi yang ada di universitas di tanah air.  Professor dan Associate professor umumnya memegang mata kuliah yang sama jumlahnya. Dalam kasus di universitas saya, professor memegang satu mata kuliah di S1, dan 2 di S2/S3. Yang juga berbeda adalah adanya seminar bersama yang diikuti oleh mahasiswa S1, S2, dan S3 untuk menyampaikan penelitian sendiri atau mengangkat tema penelitian orang lain yang sudah dipublish di jurnal ilmiah. Beban mengajar dosen sangat rendah dibandingkan di tanah air, sehingga kegiatan penelitian lebih aktif.

Kembali pada proses melamar dosen di atas. Setelah dosen yang dilamar bersedia, maka dekan/direktur pasca, dan ketua prodi harus datang ke universitas tempat dosen tersebut bekerja untuk menemui dekan/direktur pasca dan ketua prodi yang menjadi atasan si dosen sebelumnya. Mereka harus meminta ala Jepang, membungkuk dalam-dalam dan memohon agar dosen tersebut diijinkan pindah kerja. Tentunya, sudah ada pembicaraan antara si dosen dengan atasannya, sebelum pihak “pelamar” datang meminta. Lalu, apakah langsung diterima? Tidak juga. Dalam kasus tertentu, si pelamar harus datang dua atau tiga kali, hingga akhirnya “ayah”/atasan melepas “anak”/dosennya.

Jika dilamar oleh universitas top, tentu bukan gaji yang tinggi yang akan diterima (kecuali dilamar oleh universitas swasta yang top), sebab umumnya gaji dosen negeri sama di semua universitas. Kelebihannya tentu ada pada kesempatan mendapatkan hibah penelitian dan ketenaran nama universitas. Lalu, apakah semua dosen yang dilamar bersedia? Tidak juga. Ada juga dosen-dosen yang memilih bertahan di universitasnya.

Sistem pelamaran dosen dapat berlangsung antaruniversitas top, universitas negeri dengan negeri atau negeri dengan swasta. Umumnya jarang terjadi model swasta meminta kepada negeri, kecuali beberapa universitas swasta yang kepopulerannya melampaui negeri, seperti Univ.Waseda, Keio Univ, dan Sophia Univ.

Demikianlah sebuah tradisi unik di kalangan akademisi di Jepang. Apa yang bisa kita petik barangkali, sikap saling menghormati antaruniversitas. Kedatangan “pelamar”, tidak saja dengan tujuan meminta si dosen, tetapi juga meminta maaf karena telah menyebabkan kerepotan pada universitas lain. Universitas yang dilamar, tentulah harus berpayah-payah mencari dosen pengganti. Kalau universitas yang dilamar mementingkan diri sendiri, maka tentulah dia akan menahan dosennya. Tetapi ada sikap lain yang patut dihargai, yaitu ijin universitas kepada dosennya yang dilamar. Hal ini menunjukkan adanya sikap tidak mengekang dosen, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang sesuai dengan keinginannya.

 

Tinggalkan komentar