murniramli

Memperkerjakan anak berIQ rendah

In Serba-Serbi Jepang on Mei 11, 2008 at 9:37 am

Saya harus mengangkat dua jempol untuk para bos yang berani mempekerjakan anak-anak yang mengalami kelambatan dalam berfikir, kelainan fisik, atau secara psikologi ada sedikit masalah. Termasuk perusahaan tempat saya bekerja part time sekarang.

Beberapa bulan yang lalu, saya diberi kepercayaan untuk mentraining seorang anak lulusan SMA yang mengalami kelambatan dalam berfikir di tempat saya bekerja. Si anak tidak ada masalah dengan fisiknya untuk bekerja, permasalahannya hanya dia sangat lambat menangkap perintah/tuntunan yang kita berikan, termasuk sangat lemah dalam hitung menghitung bilangan dasar yang sangat dibutuhkan di tempat bekerja kami.

Akhir-akhir ini karena kesibukan mengerjakan disertasi, saya agak mengurangi kerja dan hanya datang kira-kira 2-3 hari dalam sepekan. Sesekali saya masih bertemu dengan anak itu dan seperti biasa dia masih bekerja di bawah perintah dan belum ada inisiatif pribadi untuk melakukan ragam pekerjaan yang lain. Tetapi ada kemajuan paling tidak.

Beberapa pekan yang lalu, saya dikejutkan dengan pengangkatannya sebagai staf tetap di perusahaan kami. Kali pertama saya menjumpainya dengan status yang baru, dia tidak lagi datang ke kantor dengan baju kekanak-kanakannya, tetapi datang dengan seragam jas dan rok hitam, seperti staf yang lainnya. Tetapi sekalipun statusnya berubah, dia masih dianggap dalam tahapan training.

Saya mencoba mengamati bagaimana manajer dan wakil manajer mendidik dia sebagai staf baru. Pertama, tugas yang dikerjakannya paten atau sudah dibuat secara berurut-urut. Beberapa tugas dikerjakan dengan basis waktu, misalnya jam 9.00 pagi, mengganti plastik sampah.

Kedua, semua perusahaan yang melayani pembeli, kebanyakan mempunyai sederet `tata tertib` atau `janji` sebagai bentuk pemberian pelayanan terbaik kepada konsumen dan menjaga hubungan senior junior. Contohnya kebiasaan mengucapkan salam, tersenyum, berbicara dengan bahasa santun, dll. Untuk menghafalkan pesan-pesan ini, si anak diminta untuk menulisnya, kemudian setiap hari sambil bekerja, sesekali atasan mengetesnya untuk menyebutkan secara berurut.

Ketiga, karena dia lambat dalam menghitung, maka untuk mempercepat kerja, biasanya perintah diberikan seperti ini : “Buat donut A satu tray “. Jika kepada pegawai yang lain perintahnya adalah : “Buat donut A 25 biji”, maka untuk si anak, perintah tanpa menyebutkan angka. Mendidik anak seperti itu dalam sebuah rentetan kerja memang susah. Yang paling susah adalah melatih kepekaannya terhadap permasalahan yang ada dan bagaimana memecahkannya. Karena dia hanya ditrain dengan pekerjaan tertentu, maka kadang-kadang kepekaan dan tindakan antisipatifnya tidak dapat berjalan dengan baik. Misalnya di saat pengunjung ramai, maka kecepatan kerja harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan pembeli. Tapi si anak belum bisa.

Tapi sebuah keyakinan ada dalam diri saya, bahwa suatu saat dia pasti bisa.

Anak-anak yang mempunyai kelambatan dalam kerja otak, tetap saja anak-anak yang mempunyai hati dan perasaan. Suatu kali karena ketidaksabaran melihat kerjanya, manajer memarahinya, dan dia menangis. Membuat pekerja menangis barangkali baru kali ini dirasakan oleh manajer kami, sehingga beliau pun shock. Saya pikir menangisnya si anak bukan karena sakit hati ditegur karena kelambatannya, tetapi bisa saja karena tenaganya yang diforsir 8 jam atau lebih sehari membuatnya berada pada titik emosi tertinggi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Maka menangislah dia karena usahanya sepertinya tidak dihargai.

Saya tidak tahu latar belakang keluarga si anak, hanya beberapa kali saya sempat bertanya apakah dia suka donut, karena saya jarang melihatnya makan donut, atau apakah dia suka membelikan keluarganya donut ? Dia selalu menjawab, donut mahal.  Tapi kadang dia membawakan kakak perempuannya, karena dia penggemar donut.

Tapi yang menarik dan berkesan bagi saya, adalah nasi bekal yang selalu dibawanya.  Pernah sekali saya intip, sangat mengesankan buatan ibu yang sarat cinta kepada anak.  Demikian pula gantungan bajunya.  Seperti biasa kami harus mengganti seragam kerja, dan gantungan baju si anak sangat cantik dibungkus dengan manik-manik bening bernuansa merah dan pink.  Khas sekali buatan tangan kreatif ibunya.  Saya membayangkan betapa bangganya si Ibu yang melihat anaknya kini bisa berarti bagi orang lain dan merasakan bahwa dirinya juga dihargai.

  1. Menyentuh sekali ceritanya, mbak Murni.

    murni : Apa kabar, Mba Santi ?
    maaf, lama ndak jalan2 ke blognya, Mba.

  2. Bagus … aku suka, dapet pengetahuan.

  3. wah mbak…..itu kayak aku….hehehhe…sesama pekerja di mister donut…aku juga lemot mbak…hehehhe…anyway…that’s the way of japan….lebih manusiawi dibanding di negeri kita, tapi kadang juga sadis…hehehe…keep writing mbak murni

  4. terimakasih atas ceritanya.

    Sukses ya dengan kuliahnya…yang semangat ayo!

  5. ceritanya dalam sekali…..dan betapa sabarnya sang bos harus menerima kenyataan kondisi pekerja. Ditengah budaya neoliberalisme, ternyata masih banyak yang punya hati….syukron

  6. […] Tulisan ini dan tulisan tentang pengalaman inspiratif lainnya dapat dibaca di: Memperkerjakan anak berIQ rendah […]

Tinggalkan komentar