murniramli

Belajar menjadi Guru adalah siklus yang tak berujung

In Manajemen Sekolah, Pendidikan Indonesia, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan on Februari 20, 2007 at 4:17 am

Saya sedang menikmati buku John S Mayher berjudul Search and Re-Search what the Inquiring Teacher Needs To Know.  Buku lama terbitan tahun 1991 ini menarik perhatian saya ketika sedang mencari literatur untuk artikel yang sedang saya persiapkan.  Sudah agak lama saya pinjam dari perpustakaan, tapi waktu luang untuk membaca rasanya hampir tidak ada.  Beberapa buku masih menumpuk di meja, menunggu waktu untuk dibaca.

Saya merasa seperti didikte oleh pekerjaan dan penelitian saya, sehingga tidak ada waktu untuk memanjakan diri dengan membaca, sebuah hobbi yang saya senangi sejak kecil.  Bagaimanapun saya harus memaksa diri untuk meluangkan waktu untuk membaca.  Jadi, saya pikir2 saya menghabiskan waktu 1-3 jam dalam kereta.  Daripada tidur seperti yang biasa saya lakukan karena kecapekan bekerja, sekarang saya mulai aktivitas baru : membaca dalam kereta.  Sebenarnya bukan hal baru, sebelum-sebelumnya banyak bacaan yang saya habiskan di kereta, hanya setelah agak sibuk bekerja saja, tubuh saya tidak bisa melawan kantuk yang teramat sangat.

Seperti halnya yang ditulis oleh Mehyer dalam bukunya, seorang guru tidak boleh berhenti belajar.  Dalam chapter 2, dia menuliskan `The Never-ending Cycle of Teacher Growth`  sebagai suatu proses yang tiada henti bagi seorang guru untuk menjadi lebih baik.

Saya menginterpretasi tulisan tersebut sebagai suatu pemahaman bahwa profesi guru bukanlah profesi yang seharusnya diberi kategori khusus berdasarkan tingkatannya.  Guru tidak seperti jenjang karir politik : dirintis dari kepala RW/RT, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, ketua DPR/MPR, lalu Presiden.  Yang setelah menjadi Presiden, tidak tahu lagi harus menjabat jabatan yang mana, karena tidak ada yang lebih tinggi daripada jabatan presiden dalam sebuah negara.

Guru adalah guru, yang menjalani siklus dari seseorang yang tidak mengerti apa itu guru kemudian secara bertahap mempunyai pemahaman mendalam tentang profesinya.  Apakah setelah menjadi guru yang mumpuni, orang harus beranjak menjadi kepala sekolah ? atau inspektor di kanwil diknas ? Tidak.

Setelah guru memahami profesinya, maka masih banyak hal yang belum dia pahami.  Setelah guru mengajar dengan baik murid-muridnya hingga 99% dari total murid memperoleh score 100 di ulangan matematika, maka jangan lupa bahwa dia belum paham kenapa 1 % murid tidak mendapat angka 100 ?

Seorang guru baru di US, Adele Fiderer menjalani proses berkembang menjadi guru yang baik melalui pengamatannya yang mendalam terhadap suasana kelas bahasa yang diajarnya. Salah satu ide kreatif yang muncul dari hasil observasinya adalah meminta murid kelas 5 untuk menulis buku untuk murid kelas 1.  Bisa kita bayangkan apa yang akan diceritakan anak2 kelas 5 kepada adik kelasnya.  Salah satu materi tulisan,- barangkali agak berat- tentang bagaimana membaca yang baik.  Tapi bukankah dengan ini Bu Fiderer akhirnya mengetahui keinginan murid2 kelas 5-nya tentang pelajaran membaca ? Ya, selanjutnya dia mengembangkan program membaca di kelasnya berdasarkan keinginan murid-muridnya.

Pengalamannya mengajar di kelas 5, dia share dalam diskusi di sekolahnya yang saat itu tengah mengembangkan research center, juga dia paparkan dalam forum seminar antar sekolah di wilayahnya, dan selanjutnya menggelinding seperti bola salju, menjadi ide nasional.

Guru yang cerdas adalah guru yang senantiasa ingin belajar menjadi guru yang cerdas.  Guru yang tidak cerdas adalah guru yang hanya mengajar, mengikuti training, mengikuti pelatihan untuk memenuhi kredit kenaikan pangkat.  Guru yang lebih cerdas adalah guru yang senantiasa belajar mengenai ilmunya, peduli terhadap perkembangan pendidikan di lingkungannya, haus berdikusi melalui forum guru, peka terhadap masalah yang muncul, selalu bertanya `Mengapa ?` dan sekaligus mencari tahu jawabannya, alias mengembangkan penelitian, dan ….guru yang selalu merasa tidak cerdas.

Kenaikan pangkat, kenaikan gaji seharusnya bukan menjadi urusan guru.  Apa gunanya para inspektor, apa gunanya kepala sekolah, apa gunanya evaluator (kalau ada) ?  Merekalah yang seharusnya menjadi tim pengamat plus tim penilai layak tidaknya seorang guru dinaikkan pangkatnya atau gajinya dan secara periodik melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Tidak perlu seorang guru mengurus sendiri kenaikan pangkatnya.  Biarkan dia berkembang membentuk dirinya menjadi guru yang baik, mengembangkan metode pengajaran yang aktual, menghadiri seminar, workshop dan terlibat dalam kegiatan penelitian.

Biarkan seorang guru menjalani siklusnya untuk menjadi guru.

Saya termasuk guru yang anti mengurus kenaikan pangkat/gaji, dan paling ogah membuka amplop dan menghitung gaji di depan bendahara (>_<)

  1. Birokrasi kadang membuat guru jadi tak kreatif, tak produktif … karena hampir selalu dibuat pola seragam, dalam berbagai aspek, top down … inovasi dan kreatifitas tak dihargai … akibatnya banyak robot-robot berpredikat guru … karena KTSP pun seragam.

    Dalam keseragaman jangka panjang … orang akan tak berani bertindak beda, berfikir beda … kreatifitas akan mati … karena kreatifitas dan inovasi adalah upaya keluar dari keseragaman dan tampil beda.

    Sy sudah sounding kepada teman-teman kepala sekolah tentang rencana kunjungan anda ke SMK Negeri 3 Jakarta, tolong sajikan ttg pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan di Jepang dan kehidupan Guru di Jepang, arigato … ^-^

    murni : Pak Dedi termasuk bukan yg mengikuti pola seragam itu kan ya ? (^_~). Tampil beda emang suka radha susah, Pak. Di tengah org2 Jepang yg suka pake baju hitam2, sy suka beda sendiri pake baju dan kerudung yg ngejreng warnanya. Indonesia sekaleeee !!

    Jd grogi beneran nih, Pak bicara di depan kepsek dan guru yg terhormat…Badan sy bisa mengecil (>o

  2. Apakah saya termasuk guru yang cerdas? (jangan dijawab yah, biarlah ini jadi renungan saya, dan akan saya tuju itu) Terimakasih.
    Jangan lupa jaga kesehatan, kasihlah hak tubuh untuk enjoy “barang sesaat”.

    murni : Pak Urip, ga saya jawab deh.
    Tapi saya cuman ngomentari, Pak Urip itu guru yang sangat cerdas.

    Ya, kasihan sekali tubuh sy, dia spt tak mampu mengikuti kemauan otak dan jiwa sy
    (T_T)

  3. Sayang sekali banyak guru yang tidak memahami ke-guru-an nya…
    Dan celakanya, mereka malah bangga dengan status ke-guru-an nya…

    murni : memang….tdk ada profesi lain selain ….guru
    heheehe…

  4. Numpang nimbrung nih Mbak…

    Apakah setelah menjadi guru yang mumpuni, orang harus beranjak menjadi kepala sekolah ? atau inspektor di kanwil diknas ? Tidak.

    Hm… Tapi di kampung saya, kecenderungannya kok para guru itu “berjenjang” ya Mbak? Misal kalau guru SD biasanya dinaikkan menjadi kepala sekolah SD, atau menjadi guru SMP. Apakah ini cuma karena berbeda kultur dan lokasi? CMIIW

    Numpang jawab nih Dek….
    maksud kalimat saya : setelh jd guru yg mumpuni, seorg guru ga harus jadi KEPSEK, tp boleh jadi KEPSEK, Kades, Camat, Bupati, Gubernur, Presiden…lo kok ga nyambung ?? hehehe…
    Kalo guru SD jadi naik pangkat jadi guru SMP…wah ini bener2 salah kebijakan (`へ`)

  5. Komunitas para guru nihh…
    Ayo buat komunitas guru…..
    Biar orang pinternya tambah banyak…

    murni : setuju, Pak Guru Hari
    tp buat komunitas guru tujuannya bukan spy org pinternya tambah banyak…
    kalo org pinter kebanyakan…ntar sekolahnya kosong, ga ada yg mo belajar….hehehe

    • seorang guru laksana mentari pagi yang bersinar menerangi berbagai mahluk yang ada di bumi aaaaaaaayo teruskan lanjutkan my love techer

  6. Numpang nimbrung nih Mbak…
    Hmm… Salah kebijakan ya?
    Tapi di kampung saya emang aneh kok Mbak, mungkin background rata-rata penduduk juga ikut pengaruh ya? Biasanya, di tempat saya, yang dijadikan standar apakah sebuah profesi itu punya gengsi adalah “gaji”, kemudian kemudahan dalam pekerjaan, misal seorang penambang lebih kurang terasa kesan “wah”-nya daripada pegawai negeri yang “gaji”nya kurang tapi “kerja”nya lebih “aman”.
    .
    Kenapa guru SMP saya bisa naik jadi seorang Kepala SMA? Aselinya ga boleh ya? Walaupun SMA nya nggak begitu bagus amat sih, di pedalaman…. CMIIW

    murni : kayaknya kalo di Indo, apa saja boleh…kebijakan bisa dibuat belakangan (^_^)

  7. Buat Mbak Murni,
    Saya setuju dengan usulannya jadi guru yang mumpuni…soal naik pangkat de el el, biarlah mereka yang mengusulkan..biarkan para guru asyik dengan profesinya untuk terus mengembangkan dirinya…ingat juga pada guru itu yang digugu dan ditiru….kalau memberi contoh yang salah…wah gimana dong nasib generasi mendatang….
    Biarkan guru untuk tetap jadi guru….
    Salam…

    salam juga(^_^)

  8. Perbedaan Guru dengan Siswa
    Gutu: Terima Gaji
    Siswa: Terima saja
    Minimal itu yang diucapkan guru saya saat menerima amplop dari Bendahara Sekolah.
    (-^^-)

    murni :(^_^)

  9. Wuah….emang banyak guru yang inginnya mengejar pangkat. Tapi di tempat saya mengajar, semua malah tidak ada yang ingin dicalonkan untuk jadi kepala sekolah 🙂
    Semua merasa lebih enjoy didalam kelas bersama anak-anak. Bisa eksplor, main, meniliti dengan anak-anak.
    Apa guru-guru di tempat saya termasuk aneh ya ?:)

    murni : ngga juga (^_^)

  10. Jika seorang pengajar sudah tidak mau lagi belajar, hendaknya guru tersebut berhenti menjadi pengajar

  11. saya baru mau mulai menjadi guru, dan belum punya pengalaman apa pun

Tinggalkan komentar