murniramli

Konsep Bertetangga di Jepang

In Serba-serbi Indonesia, Serba-Serbi Jepang on Oktober 6, 2010 at 1:40 am

Yang paling saya senangi di Indonesia adalah pertetanggan kami dengan beragam keluarga di kompleks rumah kami di Madiun. Tetangga kami sangat beragam, orang Jawa, orang Batak, orang Cina, orang Sumatera, semuanya ada. Agama tentu saja berbeda, tetapi setiap hari ada acara menyapa, mengobrol, dan bermain anak. Sore-sore, kegiatan ibu-ibu hampir sama, sambil menunggu suami mereka menyapu halaman, menyirami bunga, dan tentu saja sambil mengobrol.

Selama tinggal di Jepang, saya belum pernah menemukan pertentanggan seperti itu. Orang Jepang terlalu individual, bahkan kata seorang ahli Jepang, lebih individual daripada orang Amerika.

Tetangga dalam definisi KBBI adalah orang (rumah) yg rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah; jiran; 2 orang yg tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan. Saya kira artinya sama dengan istilah bahasa Jepang 隣の人(tonari no hito).

Namun konsep bertetangga antara Jepang dan Indonesia sangat jauh berbeda. Di Jepang, tetangga adalah sekedar orang yang tinggal berdekatan rumahnya dengan kita. Mereka tidak dilibatkan terlalu dalam sebagaimana pertetanggaan di Indonesia. Tidak ada obrolan mendalam tentang anak, tentang masakan sebagaimana yang dilakukan ibu-ibu di Indonesia. Tentu saja mereka tetap saling menyapa, sekedar sapaan biasa, tetapi tidak membicarakan masalah keluarga. Jadi, tidak ada yang tahu anak keluarga A sekarang kuliah di Tokyo University, anak keluarga B sakit, dll.

Pesta pernikahan adalah pesta yang tidak melibatkan tetangga sama sekali.Yang diundang hanya teman mempelai, sanak famili terdekat, atasan dan teman kantor. Alasan tidak mengundang tetangga karena biaya pernikahan mahal, dan ada kebiasaan memberikan souvenir kepada tamu yang harganya cukup mahal, serta tamu minimal memberikan amplop 30 ribu yen. Alasan kedua, pesta pernikahan tidak pernah dilakukan di rumah, tetapi di gedung pernikahan atau di hotel. Dan tidak ada istilah seperti di Indonesia, saat kita diundang, kita boleh mengajak teman yang lain. Atau kalau bapak yang diundang, maka ibu dan anak pun boleh ikut.

Dalam pemakaman demikian pula, tetangga dekat terutama di perkotaan tidak diundang. Tidak sama dengan di Indonesia, saat ada yang meninggal, tidak perlu ada undangan, tetangga sekompleks akan berdatangan untuk takziah.Dan urusan jenazah pun dilakukan secara gotong royong hingga penguburannya. Di Jepang semuanya dikelola oleh perusahaan pemakaman. Jadi tetangga tidak dilibatkan sama sekali. Di pedesaan atau lingkungan kota kecil, tetangga yang tinggal di lingkungan satu temple atau shrine biasanya akan berdatangan dalam upacara meninggalnya seseorang.

Lalu bagaimana kalau ada yang sakit ? Saya ingat sewaktu di kampung nenek, seorang paman sakit, yang mengantarnya ke rumah sakit di kota Bone adalah orang sekampung dengan menggunakan truk yang supirnya atau pemiliknya adalah orang kampung itu juga. Sewaktu bapak saya sakit, tetangga-tetangga kami menawarkan jasanya untuk mengantarkan beliau ke rumah sakit sekalipun itu jam 11 malam.

Di Jepang jika anda sakit, maka jangan berharap tetangga akan membantu anda. Orang Jepang pun tidak pernah bergantung kepada tetangganya. Lalu apa yang mereka lakukan ? Mereka lebih percaya pada fasilitas pemerintah, telepon ambulance, dan dengan segera mereka akan datang mengangkut anda ke rumah sakit.

Karena sangat individualnya dan mereka mempunyai filosofi : tidak merepotkan/mengganggu orang lain, pertetanggaan menjadi sangat kaku di Jepang, dan oleh karenanya lembaga/perusahaan pelayanan jasa menjadi berkembang dengan baik.

Di lingkungan kota kecil atau desa, memang berkembang “kinjou kai”, biasanya terkait dengan pengelolaan temple atau shrine, atau kegiatan semacam “ocha kai”, yang memelihara tradisi minum teh. Hubungan pertetanggaan juga akan lebih erat jika anak-anak dimasukkan di hoikuen (tempat penitipan anak) atau yochien (TK) yang sama, sebab ada perkumpulan orang tua. Inipun kalau mereka tinggal dalam lingkungan perumahan yang sama atau berdekatan.

Istilah Rukun Tetangga (RK), Rukun Kampung (RK), Rukun Warga (RW) di tanah air sebenarnya muncul dan diperkenalkan pada masa pendudukan Jepang. Konsep ini tidak sekedar bermakna  pengelompokkan untuk memudahkan administrasi pemerintahan hingga level terkecil, tetapi maknanya lebih dalam terkait dengan konsep gotong royong, bahu membahu, berbaur dengan arisan dan pengajian.

Konsep tonari gumi (Rukun Tetangga) juga masih ada di pedesaan di Jepang. Tetapi sudah menghilang di perkotaan. Barangkali karena sejak kekalahan dalam perang dunia II, industrialisasi berkembang pesat dan banyak orang Jepang bekerja sebagai “salary man” (pekerja kantor/perusahaan), kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan di kantor, sehingga konsep petetanggaan menipis, dan yang menguat adalah konsep pertemanan di kantor.

Melihat perkembangan masyarakat individual seperti ini di Jepang, saya berharap semoga masyarakat perkotaan di tanah air yang tengah menuju kecenderungan yang sama, tetap tidak melupakan konsep gotong royong.

  1. wah pasti shock y, klo tetangganya bersikap individualis seperti itu, di pikiran saya tetangga adalah yg ibu paparkan di paragraf pertama, plus saling kirim hantaran, atau ngobrol di tukang sayur ;p

    salam kenal kembali bu murni dari blog tetangga…

  2. Alhamduliilah..Jadi orang indonesia walaupun gak semaju jepang..

  3. kalo dliat di negara” maju seperti jepang (contohnya)dan negara” lain, masyarakatnya individual banget ia mbak.., apa itu syarat buat jadi negara maju kali ia 😀

  4. wah, blognya bagus mbak 🙂

Tinggalkan komentar