murniramli

Wacana tentang team teaching

In Manajemen Sekolah, Pendidikan Indonesia, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan on Mei 2, 2008 at 12:35 pm

Ketidakseimbangan dalam penyebaran guru di seluruh Indonesia menjadi permasalahan pelik yang menghalangi proses kemajuan pendidikan di Indonesia. Beberapa sekolah kebingungan mempekerjakan guru-gurunya karena jumlah yang sudah melebihi batas, tetapi ada pula sekolah yang terpaksa memeras keringat guru untuk bekerja over time.

Sebuah pendekatan baru dilakukan di Jepang untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang berorientasi kesiswaan, yaitu dengan pemberlakuan TT atau team teaching. TT sekaligus menjadi solusi problema kelas besar yang sangat sulit ditangani oleh satu orang guru, sedangkan untuk mengembangkan sebuah kelas baru terbentur pada masalah pendanaan.

Beberapa SD di Jepang yang pernah saya kunjungi menerapkan team teaching. Dengan pendekatan ini, pendidikan SD di Jepang yang berorientasi kepada pendidikan anak per anak lebih mudah dijalankan. Secara praktisnya, guru utama bertugas menjelaskan materi pelajaran, sedangkan assistant teacher berfungsi membantu anak yang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran.

Beberapa SMA yang saya kunjungi di Indonesia menerapkan pola yang sama. Dengan alokasi tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah, maka `daripada menganggur`, kepala sekolah mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan TT. Tetapi nuansanya berbeda dengan di Jepang.

Di Jepang program TT dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, terutama di kelas-kelas yang membutuhkan pendampingan. Karena program TT ditawarkan dan dibiayai oleh pemerintah. Tetapi di Indonesia, TT diadakan untuk mengantisipasi supply guru yang berlebih di beberapa sekolah.

TT akan menjadi sangat menarik untuk dieksplorasi dan diterapkan lebih dalam jika dipahami secara baik konsep dan esensi pemberlakuannya. Dengan adanya kolaborasi 2 guru di dalam kelas, maka proses observasi terhadap siswa menjadi lebih intens. Catatan khusus terhadap perilaku, ketidakbisaan, kesulitan siswa akan terekam dengan baik, bersamaan dengan itu, teknik pengajaran pun akan dapat dikritisi dengan baik. Untuk dapat melakukan ini dengan baik, maka kedua guru yang berkolaborasi harus mempunyai kesamaan komitmen, dan kesiapan untuk bersikap kritis dan mengkritisi.

Pendekatan TT yang dipakai di Indonesia, harus dikoreksi agar tidak terkesan hanya sebagai cara untuk menggenapkan quota jam mengajar 24 jam sebagaimana yang ditetapkan PP 16 tahun 2007 tentang sertifikasi guru. Tentu saja untuk keperluan ini peraturan tentang pelaksanaan TT dari pemerintah akan tak berarti apa-apa jika para guru pelaksana juga tidak berkomitmen kepada perbaikan pendidikan.

  1. ass wr wb,

    Bila team teaching seperti itu yang dimaksud, maka TT harus dimulai dari paud, berlanjut ke sd, smp dan seterusnya. Pengelolaan hasil observasi yang serius di usia dini akan membantu membangun suatu karakter dan sederet kemampuan yang dimiliki anak.

    Di mata murid dan wali murid, team adalah guru mereka tanpa melihat perbedaan antara guru utama atau asisten.
    Pengelolaan kelas harus berbasis kebutuhan murid, sehingga lesson plan yang dibuat harus menggambarkan lebih banyak layanan individu murid. Pengajaran klasikal hanya sekedar penjelasan konsep awal atau kuliah umum, selanjutnya murid akan memilih beberapa alternatif menu kegiatan berkaitan dengan kuliah umum yang sudah disiapkan team atau menyelesaikan proyek yang tertunda. Berikutnya guru asisten akan memantau atau mendampingi kelompok belajar sementara guru utama memberi layanan individu atau mengevaluasi secara individu atas satu atau beberapa kemampuan dasar yang akan dikembangkan.

    Selesai kegiatan, TT saling menguatkan hasil observasi hari itu dalam evaluasi aktifitas harian, mendiskusikan perkembangan perilaku, kemajuan kemampuan, kesulitan yang dihadapi anak bahkan kejadian khusus dalam anekdot record. Rutinitas ini akan memberi gambaran kuat akan gaya belajar masing-masing murid sehingga team pun akan dimudahkan untuk explore metode dan media pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran berikutnya baik yang disiapkan untuk klasikal maupun individu. Bila benar-benar konsisten maka bakat dan minat murid serta penanganannya relatif lebih mudah dikomunikasikan untuk berbagai pihak dan kebutuhan.

    Sepertinya menjadi mahal karena memerlukan dua guru, tapi itu tidak berarti bila melihat hasilnya nanti. (Apalagi bila benar ada sekolah kelebihan guru ….).
    Beberapa sekolah di negeri kita pun sudah mulai menerapkan sistem ini semoga pencapaian tujuannya terevaluasi dengan baik.

    wassalam
    Si Teteh

  2. Wa alaikum salam wrwb

    Terima kasih atas komentarnya, Teh.

    Keberlanjutan antar jenjang pendidikan kelihatannya masih menjadi masalah di Indonesia. Seperti yang Teteh sebutkan bahwa TT seandainya dijalankan dari PAUD, SD dan jenjang selanjutnya, maka akan diperoleh data perkembangan anak secara intens. Tp perlu diingat bhw krn konsep pendidikan di negara kita bukan lokalisasi pendidikan tp sistem pilihan, maka keberlanjutan rekaman kemampuan anak mungkin terputus. Artinya, anak yg lulus dari TK di daerah A, bisa masuk SD daerah B, dan selanjutnya lanjut ke SMP daerah C, yg mungkin bisa saja berada di provinsi yg berlainan. Dg OTDA, sistem pendidikan di setiap prov, kelihatannya akan heterogen.
    Tp, sistem kontinuitas observasi ini akan berjalan di sekolah2 berjenjang yang berada di bawah satu yayasan.

    Tetapi bagaimana pun usaha baik ini harus dimulai tdk peduli sekolah swasta atau negeri!

    Usulan u memperbaharui sistem pelaporan akhir belajar dengan menambahkan data fisik, minat, dan perilaku/personality siswa, di samping data akademik menjadi poin penting yang harus dimasukkan jika ingin keberlanjutan pemantauan perkembangan anak terlaksana dengan baik.

    Masalah kelebihan guru seperti yg saya ungkap terjadi krn allotment guru yang tdk merata. Daerah remote justru tdk punya cukup guru.
    Jd jk ini terus berlangsung mk kondisinya akan tetap sama, yaitu daerah perkotaan akan lebih maju, dan daerah remote akan tetap tertinggal.

    Btw, barangkali Teteh punya referensi tentang pelaksanaan TT di Indonesia, baik dari segi landasan hukumnya maupun contoh aplikasinya?
    Bisakah dishare di blog ini ?

    matur nuwun,

    wassalam.

    Teh, ada salam dari Mba Aas…lihat di kolom It’s me

  3. Team teaching di sekolah kita
    Kadang saya merasa tidak penting memberikan kritik. Orang kita tidak pintar menerima kritik. Ketika ada informasi bagusnya sebuah team teaching di sana dan di sini, juga tidak terlalu bermanfaat. Sering kali di sekolah kita melihat secara benar bahwa team teaching bagus. Namun begitu masih ke tahapan–bagaimana kalau sekolah kita serius menjalankannya. Guru dan diskusi team teaching jadi buyar.

  4. […] di lapangan tidak selalu mendukung kesuksesan pendekatan team-teaching. Dalam sebuah tulisannya, Murni membahas perbedaan pelaksanaan team-teaching di Jepang dan di Indonesia. Kalau di Jepang, guru-guru […]

Tinggalkan komentar