murniramli

Pendidikan tak manusiawi

In Serba-Serbi Jepang on Desember 17, 2008 at 12:17 pm

Sudah berminggu-minggu kelas seminar PDP membahas masalah hasil PISA dan kaitannya dengan ujian untuk siswa kelas 6 SD dan kelas 3 SMP di Jepang. Guru-guru yang menjadi peserta utama dalam kelas ini selalu membawakan cerita-cerita baru tentang soal-soal ujian yang tidak masuk akal.

Seorang guru Bahasa Inggris SMA menceritakan perubahan drastis tipe-tipe soal ujian yang baru, yang membuat siswa-siswanya banyak mengalami kegagalan. Beliau juga menyebutkan bahwa salah satu universitas ternama di bidang teknologi malah mengujikan mata pelajaran sains dalam Bahasa Inggris.

Kami membahas tentang kemampuan berbahasa dan kemampuan membaca. Kemampuan membaca menjadi salah satu materi yang diujikan di dalam PISA test. Sebagai gambaran, hasil PISA 2006, 6.7% anak-anak Jepang mempunyai kemampuan membaca di bawah level 1, 11.7% level (1), 22.0% level (2), 28.7% level (3), 21.5% level (4), dan 9.4% level (5). Bandingkan dengan Indonesia, yaitu 21.8% di bawah level (1), 36.%% pada level (1),  29.1% level (2), 11.2% level (3), 1.5% level (4), dan hanya 0.1% pada level (5). Level 1 adalah terendah dan level 5 tertinggi.

Dengan hasil yang sedemikian rupa, pemerintah Jepang merasa shock dan memutuskan untuk menerapkan kembali ujian akhir secara nasional yang semula sudah dihapuskan sejak tahun 1960.

Gakusyuushidouyouryou (panduan tentang kurikulum dan penjelasan mata pelajaran dari TK hingga SMA) yang baru dalam penjelasan tentang pelajaran Bahasa Jepang mengacu kepada reading literacy PISA atau para guru mengatakan, lebih tepat dikatakan mengacu kepada “soal-soal reading PISA”. Dengan model baru, terlalu banyak materi yang harus diberikan kepada siswa. Misalnya saja siswa kelas 1 dan 2 SD diharuskan untuk :
1. Menuliskan kesan dan tanggapan terhadap bacaan atau cerita
2. Menulis laporan tentang pengalaman, kesan
3. Barang-barang yang ada di sekelilingnya mampu dijelasakan dengan mudah
4. Mencatat hal-hal penting yang disampaikan guru
5. Hal-hal yang ingin disampaikan hendaknya ditulisakan secara mudah dalam bentuk surat.

Untuk kelas 3 dan 4 :

1. Berdasarkan kesan terhadap sesuatu peristiwa/barang, siswa mampu membuat cerita (monogatari) atau uraian
2. Hal-hal yang menjadi pertanyaan di dalam diri, harus dicari jawabannya, kemudian menuliskan laporan dan boleh ditampilkan di koran kelas.
3. Bahan-bahan/data yang dikumpulkan dapat dipergunakan untuk menyusun laporan
4. Menulis surat dengan berbagai jenis dan kondisi

Kelas 5 dan 6 :
1. Berdasarkan kesan yang diperoleh terhadap sesuatu, siswa mampu menulis lirik lagu yang pendek, haiku (puisi), cerita
2. Menuliskan laporan berdasarkan tema pribadi yang didasarkan kepada hasil pencarian, dan penilaian berdasarkan pemikiran pribadi
3. Menulis artikel/tulisan untuk dipublikasi, atau yang akan dibaca oleh banyak orang.

Tuntutan seperti di atas melebihi kemampuan dasar dan pola belajar bahasa anak-anak Jepang. Sebagai contoh kelas 1 dan kelas 2 SD baru belajar mengenal hiragana dan katakana (karakter dasar Bahasa Jepang), dan beberapa kanji sederhana.  Kanji agak rumit mulai dikenalkan di kelas 4 SD. Dengan kesederhanaan itu, kebanyakan guru bahasa kelas 1 menuntun siswa untuk mahir menulis huruf-huruf tersebut dengan baik dan benar. Membaca baru dilakukan setelah huruf-huruf dipahami tentunya, lalu bagaimana menyuruh mereka menuliskan kesan ? Anak-anak kelas 1 biasanya baru diajarkan untuk membaca oleh guru dan orang tua di rumah dengan menggunakan buku e hon (buku bergambar) yang gambarnya banyak dan tulisannya hanya satu atau dua baris saja. Tapi dengan metode ini, anak-anak Jepang menjadi senang membuka buku-buku cerita yang pada akhirnya menggemari buku.

Kesenangan kepada bacaan ditumbuhkan sejak kecil dengan tersedianya ribuan buku bacaan anak. Tapi dengan pola ujian ala PISA, banyak guru yang menyangsikan anak-anak benar-benar mengerti apa yang mereka baca, sebab guru, dengan alasan agar anak bisa menjawab hasil ujian, memberikan kata-kata kunci saja.  Sama seperti ketika guru Bahasa Inggris mengajarkan kata-kata kunci saja untuk mengetahui urutan bacaan.

Kemampuan anak-anak menulis dengan baik baru kelihatan sejak mereka duduk di bangku kelas 3 atau 4, tetapi itu pun masih menggunakan hiragana. Dan apresiasi siswa baru terbentuk dengan agak baik ketika mereka duduk di kelas 5 atau 6 SD.

Dengan pola pendidikan yang lama, banyak guru menyangsikan benarkah anak didiknya tidak menguasai pelajaran bahasa Jepang, dengan kegagalan dalam tes PISA. Analisa mulai dibuat terhadap soal-soal PISA, dan memang menurut para guru anak-anak Jepang tidak terbiasa dengan pola pertanyaan seperti itu, sehingga wajar jika mereka tidak mampu menyelesaikannya.

Tetapi mengubah pola belajar bahasa dengan alasan agar dapat menjawab soal-soal PISA adalah sesuatu yang lambat laun menghilangkan aspek manusiawi dalam pendidikan. Mengapa demikian ?

Mempelajari bahasa, melatih komunikasi dengan gaya bahasa ibu adalah sebuah budaya yang diajarkan dengan memperhatikan kemampuan dan daya tangkap anak. Kemampuan berbahasa ibu tumbuh sesuai dengan usia dan tidak bisa dipaksakan. Aspek-aspek ini yang diperhatikan dalam pendidikan bahasa ibu di SD-SMP Jepang selama ini. Dan dengan pola baru, ala PISA, prinsip-prinsip ini mulai hilang dan guru mengajar bagaikan dikejar waktu.

Saya paling suka pelajaran Bahasa Indonesia sejak dulu, dan bagian yang paling saya sukai di SD adalah saat-saat membaca pantun jenaka, atau pelajaran dikte peribahasa. Pelajaran dikte menurut saya sangat sederhana, tetapi anak-anak kelas 1,2 dan 3 yang belum mempunyai banyak kosa kata, kadang-kadang tidak bisa memisahkan penulisan kata dengan baik.

Begini contoh yang saya masih ingat. Ada peribahasa : “Tidak usah mengajari anak buaya berenang”. Sewaktu pelajaran dikte (saya lupa kelas berapa), saya menuliskan : “Tidak usah mengajari anak buah ya berenang”
Hanya karena saya tidak tahu apa bedanya anak buaya dan anak buah ya  😀

Sebagai contoh yang lain, seorang teman menceritakan anaknya yang mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Anaknya kelas 3 SD. Pertanyaannya begini, “Ketika menyeberang jalan, kita harus ……..lampu lalu lintas”.
Pilihannya : a. melihat, b. memperhatikan, c. memandang
Si anak memilih jawaban a. Jawaban yang benar menurut kuncinya adalah b.
Mengapa si anak memilih jawaban a ? Analisa saya karena dia tinggal di Jepang. Saat menyeberang biasanya guru TK atau SD akan berkata, “sin go mite ne” (lihat lampu merah), gurunya tidak mengatakan : “sin go o chuui shite ne” (perhatikan lampu merah). Kata “memperhatikan” terlalu sulit bagi anak-anak kelas 3 SD untuk membedakannya dengan kata melihat, atau kata memandang.

Demikianlah, dunia atau negara atau pemerintah boleh punya banyak obsesi untuk menjadi negara dengan siswa terpintar, tapi pendidikan haruslah tetap dibawakan secara manusiawi !

Catatan : Kalimat bergaris adalah informasi yang diralat berdasarkan komentar Bunda Azka.

  1. Mba Murni, huruf kanji diajarkan mulai kelas 4 itu jaman kapan mbak? Yang saya tahu, anak kelas 1 sejak pertengahan catur wulan dua sudah mulai belajar menulis huruf kanji. Anak kelas 3, kalau ikut nihongo nouryoukushiken level 3 bisa lulus deh.

    murni : Uuups, bener juga. Saya barusan ngecek buku kanji SD dan SMP, ternyata sudah mulai diajarkan di kelas 1. Jumlah kanji untuk kelas 1 ternyata sudah 78 buah….. shitsureishimashita. Cuma anak SD belum bisa baca koran.
    Utung ada pembaca setia…matur nuwun nggih 😀

  2. […] Tulisan Asli artikel ini dan artikel menarik lainnya tentang dunia pendidikan dapat pula di akses pada: Pendidikan tak manusiawi […]

  3. arigatoo

    kanji hanomoto

  4. numpang mampir ya mbak… salam kenal aza dl… krn sy skrg g mengelola sebuah lmbg pendidikan, ingin trus mecr sistem trbaik buat anak2 negri… mangga mampir mbak…

    murni : salam kenal juga

Tinggalkan komentar