murniramli

Kebijakan pendidikan yang lahir dari sekolah

In Pendidikan Jepang on Agustus 23, 2007 at 7:09 am

Kebijakan pendidikan biasanya merupakan rumusan solusi sebuah permasalahan di bidang pendidikan atau upaya untuk memperbaiki status pendidikan yang memungkinkan perbaikan.  Kebijakan lahir dari hasil rembukan, perenungan para pembuat kebijakan dengan melihat fakta yang terjadi di lapang.   Atau ada juga kebijakan yang disusun berdasarkan permintaan lembaga donor.

Tapi tak jarang pula kebijakan justru muncul dari pelaksanaan yang sudah berjalan di sekolah.   Saya mengamati fenomena ini di dunia pendidikan Jepang.  Ada beberapa kebijakan yang bersumber dari model yang sudah dikembangkan di sebuah sekolah atas inisiatif sekolah bersangkutan, kemudian Kementerian Pendidikan menetapkannya sebagai model nasional.

Ada 3 kebijakan yang saya amati :

1. Gakkou jiko hyouka (学校自己評価)

2. Sansya kyougikai (三者協議会)

3.Gakkou fouramu (学校フォーラム)

Gakkou jiko hyouka adalah sistem evaluasi mandiri sekolah yang dilaksanakan di beberapa sekolah di Jepang sebelum keluar kebijakan gakkou hyouka dari Kementrian Pendidikan (Monbukagakusho).  Beberapa sekolah di Takahama shi telah mempunyai dan melaksanakan sistem evaluasi mandiri, demikian pula beberapa sekolah di Hokkaido.  Adapun Monbukagakusho menetapkan kebijakan ini di tahun 2002, sedangkan sekolah-sekolah itu sudah mulai melaksanakannya sejak tahun 90-an. Monbukagakusho menyebut kebijakan ini dengan istilah gakkou no jiko tenken/hyouka (学校の自己点検・評価).  Ada beberapa komponen yang dievaluasi yaitu teknik mengajar guru, fasilitas dan perlengkapan kelas/sekolah, kegiatan ekstra, pelayanan administrasi, materi pelajaran, dll.  Ada dua jenis evaluasi yang sekarang dikembangkan di beberapa sekolah yaitu : gakkou naibu hyouka (学校内部評価)= evaluasi internal sekolah dan gakkou gaibu hyouka (学校外部評価)= evaluasi eksternal sekolah.

Kebijakan kedua adalah sansya kyougikai (rapat siswa, guru dan orang tua).  Tahun 1997 kegiatan ini sudah dimulai di SMA Tatsuno Nagano.  Sebelumnya organisasi yang dikenal di beberapa sekolah adalah PTA (Parent Teacher Association), tetapi kemudian perkumpulan ini diperluas keanggotaanya dengan melibatkan siswa.  Di SMA Tatsuno sansyakyougikai dilakukan 3 kali dalam satu tahun ajaran yaitu pada bulan Mei, September dan Januari.  Sebelum ditetapkan oleh Monbukagakusho sebagai kebijakan nasional, beberapa sekolah bahkan staf the board of education telah berkunjung ke SMA Tatsuno untuk belajar mengenai perkumpulan ini.  Rapat tiga serangkai ini berisikan masalah intern sekolah yang tujuan utamanya adalah perbaikan mutu belajar mengajar di sekolah. Model ini telah meluas di seantero Jepang.

Kebijakan ketiga adalah forum sekolah yang berupaya melibatkan masyarakat dalam kegiatan sekolah dan atau melibatkan sekolah (siswa) dalam kegiatan masyarakat.  Gakkou fouramu pertama kali diselenggarakan oleh SMA Tatsuno, Nagano pada tahun 1998.  Forum ini dihadiri oleh guru, PTA, siswa, dan perwakilan masyarakat, atau perwakilan pejabat pemerintah setempat.  Banyak kebijakan yang keluar dari forum ini yang membawa kepada atmosfer kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat.  Monbukagakusho kemudian mengembangkan kebijakan gakkou hyougin seido (school committee) dan juga community school, yaitu kebijakan yang mendorong partisipasi masyarakat ke dunia pendidikan secara langsung.  Gakkou fouramu sudah dijadikan model pengembangan sekolah oleh hampir semua SMA di Nagano, dan beberapa prefecture pun telah menerapkannya.

Demikianlah, pemerintah selaku pencetus kebijakan hendaknya peduli dan peka dengan gerakan reformasi diam-diam yang dilakukan di beberapa sekolah.  Model-model dan pendekatan yang sekiranya layak dikembangkan sebaiknya diakomodasikan, dibuatkan produk hukum dan disupport dengan pendanaan.  Untuk pelaksanaan ketiga kebijakan di atas, monbukagakusho menyiapkan dana khusus.

  1. Memang seharusnya dalam mengambil kebijakan apapun dan utamanya kebijakan pendidikan melibatkan orang-orang atau bagian yang akan terkena atau menjalankan kebijakan tersebut. Jangan sampai kebijakan tersebut dibuat hanya oleh orang atau badan yang tidak terlibat atau berkecimpung langsung di bidang tersebut…sehingga tidak mengena hasilnya.

    Di Indonesia sendiri kebijakan di bidang pendidikan seringkali membingungkan alias tidak jelas sehingga seringkali menimbulkan pro dan kontra… Jadinya pendidikan di negeri kita ini susah majunya karena kebijakan yang satu baru diterapkan…eh sudah diganti lagi dengan kebijakan yang laen.

    Mungkin pemerintah kita bisa mengadopsi sistem di Jepang seperti yang mbak Murni ceritakan…siapa tahu sekolah-sekolah kita yang begitu banyak tersebar di seantero tanah air menyimpan potensi yang belum tergali…

    Salam buat mbak Murni…semoga sehat selalu.

    murni : amin

  2. Sekolah di Indonesia sudah kecanduan Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan Juknis (petunjuk teknis). Sulit bagi kepala sekolah dan guru untuk tidak terlalu tergantung pada kedua hal tersebut. Andaikan keduanya tidak ada, pihak sekolah menjadi peragu dalam menentukan kebijakan baru. Sudah lama sekolah dikebiri dengan peraturan dari atasan sehingga sulit rasanya untuk bangkit dan merdeka dari aturan-aturan baku yang kadang menyesatkan. Andai saja seorang dirjen Dikdasmen beserta para staf ahlinya adalah para mantan guru SD/SMP/SMA yang sudah berpengalaman puluhan tahun mungkin saja lebih mengerti kebutuhan sekolah.

    murni : kalo pas jadi gurunya juga bener lo, ya 😀

  3. Menarik tuh memang mbak, bila ada kebijakan yang asal idenya benar-benar dari sekolah.
    Itu berarti ide tersebut sudah dilaksanakan dan di ujicobakan oleh komunitas sekolah tersebut.
    Kalau di jadikan kebijakan nasional pun, sudah ada modelnya.

Tinggalkan komentar