murniramli

Bila Guru, Siswa, Orang tua berkolaborasi

In Manajemen Sekolah, Pendidikan Jepang on Januari 31, 2007 at 1:14 pm

Hampir semua orang setuju dengan teori yang mengatakan bahwa keberhasilan sekolah akan diraih melalui kerjasama yang baik antara guru, siswa dan orang tua.  Sejak tahun 1960-an Amerika sudah memulai model pengembangan sekolah yang melibatkan partisipasi orang tua dan masyarakat.  Ada sebuah buku lama terbitan tahun 1979 ditulis oleh Carl Grant yang saya temukan di perpustakaan fakultas Pendidikan Nagoya University, membahas tentang Community Participation di beberapa state di US.  Bukunya agak tebal, tetapi karena isinya menarik, saya hampir membaca semuanya.

Teori pengembangan sekolah berbasis masyarakat semestinya berkembang dari pola pikir ini.  Pada era 60-an ada 3 bidang utama yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, yaitu kurikulum, finance, dan tenaga edukator (kontrak kerja, penggajian, dll).  Semula saya mengiyakan ini, tapi kemudian setelah melihat kenyataan di lapang, saya cenderung untuk mengkritisinya.

Mengajak orang tua atau masyarakat berpartisipasi di sekolah ternyata tidak semudah yang diteorikan.  Melibatkan orang tua dalam penyusunan kurikulum mesti diasumsikan bahwa orang tua memiliki background keilmuan yang memadai tentang ini.  Kalau tidak, maka yang terjadi adalah ketidakjelasan kurikulum sekolah, perang urat syaraf dengan para guru, bahkan bisa-bisa orang tua mengeluarkan anaknya dari sekolah.  Demikian pula jika orang tua terlibat dalam menentukan siapa guru yang harus mengajar, bisa-bisa guru pun mogok mengajar.  Partisipasi yang kelihatannya agak smooth untuk dijalankan adalah dalam masalah keuangan, mensupport kegiatan sekolah.

Saya melihat setiap negara bahkan wilayah harus mengembangkan model kolaborasi dengan mempertimbangkan aspek budaya, potensi dan pola pikir masyarakatnya.

Forum guru, siswa, dan orang tua di Jepang yang disebut `三者協議会`(sansya kyougikai),  memiliki bentuk lain.  Dalam rangka membuat sekolah lebih transparan, di sekolah-sekolah di Jepang saat ini sedang digalakkan pembentukan forum antar guru, siswa dan orang tua.  Semula bentuk kolaborasi dilakukan antara guru dan siswa, tapi karena dianggap orang tua pun mempunyai tanggung jawab yang besar di dunia pendidikan, maka forum diperluas menjadi 3 stakeholder.

Forum sansya kyougikai di Jepang diawali oleh SMA.  Saya menduga ini wajar karena siswa SMA sudah dapat diajak berdiskusi secara matang.  Cikal bakal forum sansya kyougikai kelihatannya berkembang di wilayah Nagano (SMA Tatsuno Nagano).  Forum ini diadakan rutin setiap bulan dan terbuka bagi peserta luar untuk hadir.  Beberapa kali saya diundang Kepala Sekolah SMA Tatsuno untuk menghadiri forum ini, hanya Nagano cukup jauh dari Nagoya, dan SMA Tatsuno pun agak jauh dari pusat kota.  Tapi besok lusa saya akan mengunjungi SMA Tatsuno karena kebetulan ada tawaran menjadi Teaching Assistant program Teacher Training di Nagoya University, yang salah satu programnya adalah kunjungan ke beberapa sekolah di Nagano.

Apa yang dibicarakan dalam Forum sansyakyougikai ?

Pada dasarnya forum ini sebagai wadah komunikasi antar ketiga belah pihak.  Misalnya sekolah mengadakan evaluasi tentang teknik mengajar guru, atau siswa melalui seitokai (OSIS) menyampaikan hasil survey yang dilakukan siswa tentang fasilitas sekolah atau keseharian siswa.  Perbaikan fasilitas sekolah atau keputusan tentang seragam sekolah menjadi topik dalam diskusi forum ini.

Jadi boleh dikatakan bahwa forum antar siswa, guru dan orang tua adalah untuk bertukar pikiran tentang masalah yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar, sekaligus membahas apa sebenarnya harapan ketiga belah pihak terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah.

Terlihat model yang agak lain dengan apa yang ada di Amerika atau Australia, di mana orang tua atau masyarakat lebih berani menyampaikan uneg-uneg dan berani membahas masalah kebijakan yang krusial sekali dalam proses pendidikan.  Orang tua di Jepang sepertinya masih berfikir bahwa authority pendidikan adalah masih milik sekolah.  Sebagaimana kita pun bisa melihat status guru di Jepang masih dianggap memiliki pamor di masyarakat.

Dari forum Koukou sinpo (symposium SMA) di Kobe yang saya ikuti kemarin terlontar keinginan untuk membentuk yonsya kyougikai, artinya tidak lagi 3 pihak yang terlibat tapi mungkin 4 atau 5.

Yang pasti mengembangkan sekolah memerlukan kerjasama banyak pihak, tinggal bagaimana mengemas forumnya supaya tidak ada pihak yang merasa diperas, atau dirugikan, tetapi semuanya harus merasa `bisa belajar` untuk memainkan peran dengan lebih baik melalui forum ini.

  1. Mbak Murni.
    Trims sharingnya. Lepas dari ini semua, mengapa ya murid SMA di Jepang terkesan seenaknya (kurang disiplin), dibanding saat mereka di SMP atau SD. Apakah perlakuan “setara” dan menganggap “ajang latihan dewasa” oleh guru, sehingga membuat mereka punya “posisi tawar” sedikit lebih kuat?

    murni : karena sudah capek jadi anak penurut slama 9 tahun 😀

  2. Di Jakarta ada yang yang namanya Komite Sekolah yang unsur-unsurnya terdiri dari Orang tua siswa, unsur lingkungan sekolah, dan dunia usaha/industri, sampai saat ini saya melihat komite sekolah di Jakarta bekerja sebagai penanda tangan persetujuan pengeluaran dana yang di tarik dari masyarakat untuk kegiatan di sekolah, entah di Jepang apakah berfungsi seperti ini juga ?

    murni : Btw, komite sekolah tdk ada di Jepang. Tapi, yg nandatangani persetujuanadlh kepsek dan diknasnya saja. Ortu hanya dilibatkan dalam pembicaraan, tp pengambilan keputusan masih di tangan kepsek, setlh mendengar pendapat dr banyak pihak.

  3. mbak murni, klo dari pengalaman evi sendiri sepanjang evi bersekolah kemarin, adanya forum yang melibatkan guru,siswa dan orang tua memang jarang dilakukan semasa evi masih sd,atopun smp nah…. forum ini lumayan sering ada sewaktu evi SMU kemarin, memang ga rutin sebulan sekali, kira – kira 3 bulan sekalilah selalu ada diskusi orang tua murid dan guru, tapi jarang sekali yang juga melibatkan siswa, jadi kami sebagai siswa merasa tidak ada perubahan tuh…biasa aja, tetap2 aja, mungkin karena kami sebagai siswa ga tau apa yang dibicarain mereka 🙂 jadi ga bisa ikut monitor kesuksesan dari hasil rapat heheheh

    murni : sayang sekali, siswa tak dilibatkan ya. Padahal siswa juga seharusnya punya suara ttg program di sekolahnya

  4. Di Indonesia sat ini dengan adanya BOS malah dikira pemerintah membagi-bagikan uang kepada siswa. Buktinya ada di sebuah sekolah, orang tua siswa datang ke sekolah mau minta uang BOS.
    murni : kalau begitu kata `bantuan` harus dihilangkan, setiap kali pemerth ngucurin dana 😀

  5. Di Indoensia sudah ada forum semacam itu yang di sebut Komite Sekolah yang anggotanya terdiri atas unsur orangtua, siswa (OSIS), alumni, tokoh masyarakat, pengamat pendidikan dan guru. Tugasnya sebagai konselor, advisor dll yang pokoknya yang menunjang kemajuan pendidikan; jadi tidak semata-mata menyangkut finansial. Karena biaya pendidikan itu ‘mahal’ dan pemerintah ‘belum’ sanggup untuk membiayai segala biaya pembelian, pemeliharaan sarana dan prasarana (belakangan khusus di Jakarta, pemda DKI Jakarta sudah menyalurkan dana untuk kesejahteraan guru), maka terkesan tugas Komite Sekolah semata-mata melulu untuk menutupi kekuarangan dalam asoek finansial. Barangkali untuk lebih mengoptimalkan peran dan tugas komite ini, pengurus komite sekolah dapat memprogramkan dan menjadwalkan pertemuan rutin bulanan, atau triwulan atau semesteran sebagai ajang pembahasan segala macam permasalahan yang ada dan muncul di sekolah.

    murni : secara hukumnya, komite sekolah memang sangat bagus. Tapi kunjungan saya kemarin ke sekitar 13 sekolah SMA/SMK/MA saya kok melihat pelaksanaannya masih sama dg BP3 yang dulu, ya Pak. Seperti yg dikatakan Pak Deni, Komite sekolah hanya sekedar lembaga u menjadi tempat kepala sekolah dan OSIS melaporkan program kegiatannya, spy pengajuan dana diterima, lalu krn ada `kewajiban` dari pemerintah bahwa dana kucuran pemerintah harus sepersetujuan komite sekolah, maka ada sekolah yang membuat komite sekolah untuk tujuan ini saja.

  6. salam kenal aja

    murni : rasanya sudah sering Bapak berkenalan di blog ini 😀

Tinggalkan komentar