murniramli

Persiapan Penelitian Pendidikan

In Pendidikan Biologi, Pendidikan Sains, Pendidikan Tinggi, Penelitian Pendidikan on April 7, 2013 at 8:39 pm

Kesalahan jamak pada kegiatan riset pemula yang dilakukan oleh mahasiswa S1, dan S2 adalah persiapan yang kurang matang. Persiapan tersebut, termasuk kurangnya membaca fakta, memahami obyek penelitian sampai pada menyusun instrumen penelitan.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Salah satu yang sering terlewatkan adalah mendetilkan proses penelitian. Kebiasaan menyusun framework berpikir secara makro menyebabkan banyak yang abai dalam mengeksekusi kedetilan proposal riset. Padahal kedetilan itulah yang akan memudahkan pelaksanaan riset di lapangan.

Mempersiapkan rancangan penelitian seperti halnya mempersiapkan pertempuran. Dalam pertempuran, seberapa banyak pasukan, senjata, dan mesiu yang harus dibawa, harus disesuaikan dengan kondisi lawan. Demikian pula dalam penelitian, seberapa rumit dan kompleks kegiatan yang akan dilakukan harus sebanding dengan kedetilan dan kelengkapan instrumen riset.

Ketika berperang pada jarak yang jauh, maka tentulah sulit untuk kembali ke tempat asal untuk mengambil perlengkapan yang kurang, karena itu membutuhkan waktu, tenaga, dan uang. Demikian pula dengan riset, terutama riset yang terkait dengan proses pembelajaran di kelas. Satu materi pelajaran tidak bisa diulang pemberiannya, dan hanya akan berlangsung sekali dalam setahun. Sehingga, apabila penelitian yang akan dilakukan terkait dengan materi ajar, maka-sama dengan perang di atas-, peneliti tidak bisa kembali ke titik awal.

Dari banyak proposal mahasiswa yang pernah saya baca, ada beberapa kekeliruan utama yang perlu diperbaiki sebagai bentuk persiapan sebelum berangkat melakukan riset, yaitu :
1. Kekeliruan dalam mengidentifikasi masalah. Banyak proposal riset pendidikan mengangkat tema penerapan metode atau model pembelajaran tertentu di kelas, sebagai upaya meningkatkan hasil belajar. Yang  dianggap bermasalah oleh kebanyakan mahasiswa adalah hasil belajar yang rendah, dan ini artinya hanya aspek kognitif yang ditonjolkan. Atau bukan proses yang dipentingkan tetapi produknya.Hasil belaajr yang rendah identik dengan kekeliruan metode dan model pembelajaran, demikian logika berpikirnya. Padahal banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar menjadi rendah, baik yang ada di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, dalam proses belajar mengajar maupun di luar proses tersebut. Menempatkan faktor-faktor lain di luar metode pembelajaran sebagai “masalah” yang harus dicarikan solusi, masih langka dilakukan oleh mahasiswa kami.

2. Satu model dan metode pembelajaran untuk mengatasi semua masalah. Banyak yang belum melihat kekhasan model, berdasarkan materi dan kondisi lingkungan belajar. Artinya tidak semua model dapat diterapkan pada semua materi. Sayangnya ini tidak diperhatikan, sehingga terkesan semua model berlaku untuk semua materi dan kondisi.

3.Pemahaman terhadap fakta pembelajaran di sekolah masih kurang sehingga cenderung menjudge apa yang sudah dikerjakan oleh guru tidak sesuai teori-teori yang mahasiswa pelajari di bangku kuliah. Adanya gap yang besar antara kondisi riil pembelajaran di sekolah dengan ilmu dan teknik mahasiswa pendidikan, menunjukkan bahwa  kemungkinan yang mereka pelajari di bangku kuliah terlalu teoritis dan kurang kontekstual. Mahasiswa yang notabene adalah calon guru, sangat kurang berinteraksi dengan “calon” tempat kerjanya, sehingga interpretasinya terhadap lembaga pendidikan dan kegiatan belajar mengajar di dalamnya kurang luas dan mendalam, sebab hanya berupa praduga saja.

4. Instrumen riset yang copy paste. Berhasil tidaknya riset dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, tergantung pada bagaimana instrumen riset -atau dalam konteks ini adalah perangkat pembelajaran- dikemas sehingga mampu mengukur semua komponen yang semestinya diukur. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mau berusaha, sehingga perangkat pembelajarannya sama persis dengan milik rekannya yang sudah maju semina proposal, bahkan kadang-kadang copy paste tidak memikirkan bahwa metode dan model yang mereka pergunakan berbeda.

5. Bahan ajar copy paste. Salah satu bentuk kemalasan lain adalah menjiplak bahan ajar dari rekan atau senior Tindakan ini juga mengabaikan prinsip bahwa kelas itu adalah khas karena gurunya berbeda, dan siswwanya pun memiliki karakteristik yang khas. Menjiplak bahan ajar menjadikan target dan tujuan riset kadang-kadang tidak tercapai. Oleh akrena itu, periset harus mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan tema risetnya.

Kekeliruan di atas harus diantisipasi, dan seorang calon peneliti hendaknya melist apa saja yang harus ibuatnya sebelum memulai riset, dan memnuhinya. Kalau “amunisi” bertempur sudah disiapkan dengan matang, maka jangan ragu-ragu untuk sesegera mungkin mulai meriset. Kesiapan tempur ini dinilai oleh mahasiswa secara mandiri dan juga oleh dosen pembimbing tugas akhirnya.

  1. saya menunggu tulisan Bu Murni yang segar dan inspiratif seperti ketika masih di Jepang Bu Murni sangat sibut ya?

Tinggalkan komentar